-->

Buka Saja Bag. I


Jika saja Nyai lirih saat itu.
Aku takkan pergi sejauh ini. Aku menyesal.
Gerimis tak juga beranjak dari mukaku, Nyai. ketahuilah itu.
Bahkan ia berubah menjadi deras,
lalu menebas seketika rasa rindu dan memori yang dulu.
Apakah benar aku tak diizinkan lagi mengenang bahkan merajut kembali rasa sebagaimana dulu kutemukan kau ketika memanen ranumnya buah rampai?

Entah berapa kali kutulis buyuk rayu macam itu. Yang benar ialah tak berguna sama sekali. Tidak sekalipun mampu mengetuk rasa di dalam dirinya. Jika saja dulu tak kuceritakan hal ini, tentunya ia masih tetap ada di sampingku. Tapi tidak. Aku tak mau menjadi egois lantas diam-diam menularkan penyakit ini kepadanya setelah akad nikah. Tidak. Aku tak sebodoh itu.

Ah, tentu saja. Bukan karena kau orang awam dan tak mengerti pasal kesehatan. Jelas. Kau jengah dan muak akan perilaku yang kusulam itu. Aku hendak tak meneruskan sulamannya. Tapi bisa apa setelahnya? Tak pula akan laku terjual rasa sesal. Aku sebut saja. Bahwa setan itu ada dalam diriku. Selesai sudah. Jadi aku tak kan menyalahkan siapa-siapa atas kebobrokan dan permasalahan yang terjadi. Jadi semua berakar pada diri manusia itu sendiri. Maka, di situ Tuhan dan pertolongan-Nya selalu hadir membuntuti setan dengan masalah tadi. Klimaksnya kapan, ya terserah diri ini. Bahwa bencana itu telah ada dan hidup serta bergumul dalam diriku. Itu tetap terjadi meski dalam tempat yang tak jelas. Bahkan. Jika malam tak sudi lagi berada pada petang. Dapat saja kidung kematian tetap dilagukan ditanah ini.

Rabu, sekira pukul 2 siang, 15 November 2016 menjadi salah satu hari yang amat kelam. Selain jauh dari sanak kadang, aku sendirian saja menghadapi ini. Pasalnya, pada hari itu aku menjalani tes HIV di salah satu puskesmas di bilangan Umbulharjo, Yogyakarta. Tes ini adalah saran oleh seorang karib yang merawatku ketika opname selama sepuluh hari di RS Harjolukito, mengingat riwayat kesehatanku merujuk pada gejala macam orang terinfeksi HIV. Bayangkan saja, selama 4 bulan berturut-turut ada saja sakit mengetuk ketahanan tubuhku. Mulai dari tifus sampai demam berdarah. Hingga yang paling mengerikan adalah berat badanku yang turut terjun payung. Bukan berlebihan, untuk pria dewasa berkepala dua bukanlah hal normal memiliki berat badan 32 kg. ini juga turut mengganggu perkuliahanku, batal KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sial.

Lama sekali aku menunggu hasil tes tersebut. Kecamuk rasa di dalam piki dan hatiku akan hasilnya. "Biasanya cepet kok, setengah jam udah keluar hasilnya. Tutur salah seorang relawan yang menghantarkanku serta mimik mukanya turut panik. Yang benar saja, apa yang salah? Apakah benar aku terinfeksi penyakit yang sejak dulu aku rasai menjijikkan? Lelah menunggu hingga cemas berbaur kantuk seolah bertanya, kapan ini usai. Nah, itu dia, dokter keluar dari ruang Lab. Tak lama kemudian namaku dipanggil.

Dosa apa kiranya yang telah kubuat di masa lampau, dengan ini seakan aku tak sanggup lagi berdiri. Bahkan kelu dan sulit untuk menggerakkan bibir. Bagaimana bentuk perasaanku hanya diutarakan oleh air mataku ketika dokter itu menyatakan, "Maaf, mas, sampean dinyatakan reaktif. Saya ingin ta......" kuhentikan ucapannya dengan mengangkat tangan layaknya acungan tangan absensi di kelas. "Sebentar, dok. Pertanyaan dan jawaban apapun tak kan bisa mengubah hasil itu kan? Apa salah saya, kenapa Tuhan kutuk saja dengan ini? Dimana ibu saya? Ya Tuhan". Demikian gerutuku di depannya dengan terus sesenggukan.

Lemas.Untuk kemudian aku berdiri. "Saya akan ke sini menemui Anda dalam waktu dekat,terimakasih". Pamitku kepada dokter tersebut. Bergegas menuju ke parkiran, tanpa sedikitpun menoleh. Berjalan entah kemana, bersama mega yang semakin murung.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Mas Beber


0 komentar:

Post a Comment